Dia Butuh Kamu, Kawan

Di pinggiran sebuah kota tua yang menyimpan segudang sejarah, sebuah apartemen amat sederhana berdiri tegak ibarat sebuah benteng kerajaan. Berderet bersama apartemen-apartemen lain di sekelilingnya. Ia telah bertahun-tahun lamanya berdiri, melewati banyaknya putaran musim, menyaksikan drama kehidupan manusia yang tak ada habisnya.

Tepat di lantai teratas apartemen itu, tinggallah seorang gadis muda yang sedang menyelesaikan program studi perkuliahannya. Ia tinggal bersama tiga orang temannya. Mereka berempat mendalami jurusan yang berbeda-beda. Gadis itu lebih memilih untuk menyelam di lautan ilmu sejarah Islam kuno. Ia sangat tertarik dengan segala hal yang berbau sejarah. Menduduki tingkat akhir perkuliahan membuatnya merasa nano-nano.

Tepat di akhir masa perkuliahannya, secara kebetulan ia terpilih menjadi ketua salah satu divisi dari organisasi di kampusnya. Ia menganggap hal ini sebuah kebetulan. Karena ia tak pernah terlalu terjun di dunia keorganisasian. Mungkin sekali dua kali ia pernah mendapat amanah sebagai anggota, bukan ketua. Ia hanya mencoba untuk memberi manfaat dan kebaikan terbaik yang dimilikinya. Sampai suatu ketika gadis itu merasa, bahwa teman-temannya di organisasi berlepas tangan darinya.

Suatu hari teman sekamarnya melihat sederet tulisan di atas meja belajarnya.

Mengapa aku merasa lelah? Mengapa aku merasa, aku yang paling banyak menuangkan pikiran untuk proyek ini?
Aku sudah ingin berhenti.

Teman sekamarnya tidak sengaja melihat tulisan itu. Kemudian setelah membacanya ia larut dalam pikirannya sendiri.

Dua hari kemudian gadis itu jatuh sakit. Suhu badan yang melebihi suhu orang biasa membuatnya harus terbaring di atas kasurnya. Teman sekamar gadis itu memandang wajahnya lekat. Ia kagum atas perjuangan dan pengorbanan yang ia lakukan di sela-sela kegiatan perkuliahan.

Kemudian ia teringat akan tulisan yang ia temukan di meja si gadis. Ia tak pernah tahu masalah apa yang gadis itu hadapi. Karena kepribadian gadis itu yang amat tertutup bahkan kepada teman sekamarnya.

***

Aku tak ingin menyalahkan siapa-siapa. Setiap orang pasti telah memberikan kontribusi terbaik dengan porsi mereka masing-masing. Tapi pernahkah kamu merasa, ketika kamu telah memberikan sebuah amanah kepada orang lain, apakah dia yang kamu beri merasa baik-baik saja? Belum tentu kawan.

Sesekali berbaliklah. Lihatlah ia yang kamu beri amanah. Sapa dirinya, genggam tangannya. Tanyakan padanya bagaimana kabarnya. Bagaimana kabar hatinya. Sekarang kamu mungkin belum tahu bahwa sebenarnya ia membutuhkan dukunganmu untuk meringankan beban di bahunya. Karena dia butuh kamu, kawan:)

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lelah

Idola

Pujian itu Luka